Manado, Fokuslinenews.com — Penanganan dugaan korupsi di lingkungan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) kini menjadi sorotan publik. Pasalnya, penyelidikan kasus yang diduga melibatkan sejumlah pejabat struktural Satpol PP itu dikabarkan telah dihentikan oleh penyidik Polda Sulut.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat mengenai dugaan penyalahgunaan anggaran operasional Satpol PP periode 2020–2024. Dalam laporan tersebut, disebutkan beberapa nama pejabat, di antaranya FK selaku pengguna anggaran, VS (PPTK Bidang Linmas), AA (PPK sejak 2023), serta SL dan JR (PPTK Bidang Kebakaran).
Laporan itu mengungkap adanya indikasi penyimpangan pada belanja makan-minum ,BBM, dan pengadaan lainya sejak tahun 2020–2024
Diduga ditotalnya fantastis capai sekitar 2M lebih ,
diantaranya senilai sekitar Rp200 jutaan, belanja konsumsi salah satu kegiatan tahun 2024 serta ada juga yg diduga mencapai Rp771 juta. Dugaan modusnya antara lain markup anggaran dan kegiatan fiktif, termasuk pengadaan makanan kotak yang tidak terealisasi secara real, namun tetap dilengkapi dengan foto dan tanda tangan rekayasa dalam laporan pertanggungjawaban (SPJ).
Namun, saat dikonfirmasi pada 3 Oktober 2025, penyelidikan kasus tersebut dinyatakan dihentikan.
Kasubdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Sulut KOMPOL Muhammad Fadli, S.I.K., M.H. membenarkan penghentian laporan tersebut. Menurutnya, dana yang menjadi pokok persoalan telah dikembalikan ke kas daerah.
> “Total pengembalian, Temuan BPK dan inspektorat Rp249.527.468. Kasus yang dilaporkan tidak ditindaklanjuti,” ujar Fadli melalui pesan WhatsApp kepada wartawan.
Pernyataan itu memicu reaksi keras publik. Sejumlah kalangan menilai penghentian penyelidikan dengan alasan uang sudah dikembalikan berpotensi menimbulkan preseden buruk dalam pemberantasan korupsi, apalagi dugaan penyimpangan disebut mencapai ratusan juta rupiah dan terjadi selama empat tahun anggaran.
Seorang aktivis antikorupsi di Manado menyebut keputusan tersebut mencederai rasa keadilan publik, terutama karena anggaran itu digunakan pada masa pandemi COVID-19.
> “Uang negara dipakai saat rakyat susah, lalu setelah ketahuan cukup dikembalikan tanpa proses hukum itu tidak adil,” tegasnya.
Pakar Hukum: Pengembalian Uang Tidak Menghapus Tindak Pidana
Menanggapi hal ini, dua pakar hukum pidana Universitas Sam Ratulangi menilai langkah penghentian penyelidikan tersebut tidak sejalan dengan prinsip hukum.
Deizen D. Rompas, S.H., M.H., menjelaskan bahwa secara hukum, pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
> “Jika unsur pasal 2 atau 3 UU Tipikor terpenuhi, pelaku tetap harus diproses hukum. Pengembalian uang hanya dapat menjadi pertimbangan yang meringankan di pengadilan, bukan alasan untuk menghentikan perkara,”
Ini bukan semata azas baru dalam pemberantasan Tipikor tapi ini turunan dari teori absolut yg di ilhami dari kitab Hamurabi " gigi ganti gigi, nata ganti mata "
Yang artinya Pelanggaran Hukum Tindak Pidana tidak kenal Kompromi. Dan kita juga mengemal istilah ultimatum remidium . tegas Rompas walaupun katanya sudah ada yg dikembalikan ke kas daerah/negara proses hukumnya tetap berlanjut ..
Sementara itu, Eugenius Paransi, S.H., M.H., pakar hukum pidana yang juga dosen Fakultas Hukum Unsrat, memberikan pandangan senada.
> “Tindak pidana korupsi itu terjadi karena adanya kerugian negara. Dasar hukumnya jelas, yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 4 menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidananya,” ujar Paransi.
Ia menambahkan, dalam proses hukum, audit resmi dari BPK atau BPKP yang berwenang menentukan besaran kerugian negara — bukan aparat kepolisian.
> “Kalau sudah ada hasil audit yang menunjukkan adanya kerugian negara, maka delik korupsinya sudah terjadi. Sekalipun uang dikembalikan, proses hukum tetap harus berjalan,” jelasnya.
Paransi juga menyoroti konteks waktu terjadinya dugaan penyimpangan yang dilakukan saat pandemi COVID-19, di mana masyarakat sangat bergantung pada bantuan pemerintah.
> “Jika korupsi dilakukan di masa darurat atau bencana, itu justru menjadi alasan pemberatan hukuman. Karena dilakukan di saat rakyat sedang susah,” katanya.
Ia pun menegaskan pentingnya transparansi aparat penegak hukum dalam menjelaskan dasar penghentian penyelidikan agar publik tidak berspekulasi.
> “Polisi wajib menjelaskan secara terbuka alasan penghentian kasus. Ini penting agar publik percaya bahwa hukum ditegakkan secara adil,” tutur Paransi.
Lebih lanjut, Paransi menegaskan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merugikan rakyat banyak, sehingga tidak boleh diperlakukan sebagai perkara biasa.
> “Para pejabat publik jangan coba-coba memperkaya diri atau orang lain. Sekecil apa pun penyimpangan dalam penggunaan uang negara bisa berujung pidana,” pesannya.
Kini, dengan dihentikannya penyelidikan di tingkat Polda, publik menunggu langkah lanjutan dari pihak pelapor maupun lembaga penegak hukum lain. Kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen pemberantasan korupsi di Sulawesi Utara — apakah hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, atau justru kembali berhenti di tengah jalan.
(Red/Cheny)
0 comentários:
Posting Komentar